Senin, 30 April 2018

Minggu, 29 April 2018

Islam dimata kafir

https://youtu.be/iHXAYK66R9A

Malam nisfu sya'ban

https://youtu.be/o-NNa3X1VIg

Sabtu, 28 April 2018

Rabu, 25 April 2018

Pembasmi kemiskinan

https://youtu.be/xfs_dwaz3zU

Amalan murah rezeki

https://youtu.be/Mru0OdhMJr0

Sayang istri

https://youtu.be/nwLvo3oW9U8

Hakikat bahagia adalah syukur

https://youtu.be/tO4JDxLLfyw

Emansipasi, feminisme, dan kapitalis

_komunitasmuslimahkece__ 🌻

Salah Kaprah Perjuangan Politis Feminis
Oleh: Juanmartin, S.Si.,M.Kes

Salah satu prestasi yang berhasil diciptakan kapitalisme global di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah marjinalisasi perempuan yang terjadi nyaris di segala lini kehidupan.

Ironisnya, feminis kerap menyalahkan Islam ketika hendak membahas penderitaan yang dialami kaum perempuan. Logika sesat menyesatkan dan berpijak pada fakta yang tidak shohih, menjadikan kaum feminis secara serampangan mengarahkan jari telunjuknya pada Islam.

Dalam membahas perempuan dan masalahnya, kaum feminisme kerap berpijak pada teori bahwa "hanya perempuan yang paham masalah perempuan”.

Hal tersebut seolah menjadi justifikasi untuk berupaya menyelesaikan masalah dan mewujudkan hak-hak perempuan melalui mekanisme sistem politik dalam bingkai demokrasi.

Pembahasan mengenai partisipasi perempuan di ranah publik pada akhirnya mengerucut pada keterlibatan kaum perempuan di parlemen, lembaga tinggi negara, maupun partai politik.

Walhasil, keterwakilan perempuan di parlemen senantiasa ditempatkan sebagai isu krusial, sebab kuota 30 persen bagi perempuan di parlemen pada faktanya mengalami penurunan.

Apakah benar Islam adalah biang kerok diskriminasi yang menimpa perempuan? Apakah sistem politik yang ada saat ini layak untuk dijadikan sebagai medan perjuangan kaum perempuan di sektor publik?

*Sekularisme, kultur sesat politik perempuan*

Kesalahan logika kaum feminisme sebenarnya telah nyata dari sisi asasnya. Ketika manusia diberi wewenang untuk mengatur kehidupannya sendiri, maka solusi yang dihasilkan lahir berdasarkan kecenderungan perasaan belaka.

Akibatnya, kaum feminis kerap mempersoalkan masalah dengan menonjolkan sensitivitas feminisme. Sebagai contoh masalah waris, masa iddah, hijab, poligami dan beberapa syari’at Islam yang dianggap memarjinalkan kaum perempuan.

Feminisme kerap mempermasalahkan kebijakan yang bias gender, meski pada dasarnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sama sekali bukan dalam kerangka hendak memperdebatkan apakah kebijakan tersebut bias gender ataukah tidak.

Tidak juga dalam kerangka ego masing-masing jenis kelamin saat membuat aturan. Sebab jelas bukan itu letak permasalahannya. Pada dasarnya pengusung ide feminisme berbicara dalam kerangka pikir sekularisme liberal yang memisahkan agama dari kehidupan serta menjamin kebebasan manusia tanpa batas. 

Ketertindasan yang dialami kaum perempuan saat ini telah membangkitkan perjuangan untuk menyelematkan kaum ini dari ketertindasan. Hanya saja, dasar pemikiran yang salah telah merabunkan pejuang feminisme dalam mengidentifikasi akar masalah ketertindasan perempuan.

Feminisme fokus pada isu gender dan derivatnya, padahal sejatinya perbedaan jenis kelamin bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Alhasil, perjuangan politik perempuan pun disibukkan pada perkara “akibat” dan tak pernah sama sekali menyentuh pada sebab.

Dengan demikian, perjuangan perempuan di bawah payung sekularisme tak akan pernah menghasilkan solusi apapun.

Selama sekularisme menjadi paradigma dasar yang melandasi kerangka konsep pergerakan feminisme, maka perempuan tetap saja akan mengalami diskriminasi dan ketertindasan, termarjinalkan di segala lini. Sebagaimana terjadi pada masyarakat saat ini.

Peran domestik perempuan yang melulu membahas dapur-sumur-kasur, telah menggulirkan wacana emansipasi perempuan yang berpendapat bahwa tempat berkiprah perempuan tak hanya berkutat pada persoalan rumahtangga dan keluarga.

Lebih dari itu adalah, bagaimana perempuan mampu berperan di sektor publik tanpa diskriminasi. Hingga saat ini, Partisipasi perempuan di ranah publik terus menjadi isu krusial.

Marjinalisasi yang di alami kaum perempuan di berbagai sektor telah memantik bangkitnya perjuangan kaum feminisme dalam memperoleh hak-haknya. Sensitifitas feminisme, isu kesetaraan dan penetapan kebijakan yang tidak bias gender adalah segelintir isu yang terus digulirkan, melengkapi perjuangan kaum feminisme.

Tokoh dunia, para petinggi negara hingga tokoh perempuan kerap mengangkat isu pemberdayaan perempuan nyaris di setiap pertemuan.

Di tengah masifnya kampanye pemberdayaan perempuan di sektor publik, masyarakat justru mendapati fakta menyedihkan akibat bablasnya kaum perempuan berkiprah di ranah publik.

Anggapan sebagai masyarakat kelas dua telah mendorong naluri superior perempuan untuk berdikari, dan merdeka dari penindasan kaum lelaki. Di tambah lagi kemandirian ekonomi yang telah dimiliki kerap memicu gejolak dalam rumahtangga.

Akibat dari semua itu adalah guncangnya Institusi keluarga, pendidikan anak yang kian terbengkalai, pengasuhan anak terabaikan, tingginya angka perceraian dan beragam masalah rumah-tangga lainnya.

Logika feminisme yang menganggap bahwa masuknya perempuan ke ranah politik praktis adalah solusi, ternyata justru menuai masalah.

Faktanya, meski beberapa tokoh perempuan telah menduduki posisi strategis di tampuk pemerintahan, permasalahan perempuan sama sekali tak menunjukkan penurunan.

Angka KDRT tetap tinggi, pelecehan seksual mengalami peningkatan, kekerasan seksual pun meningkat, anehnya Islam di anggap sebagai biang kerok atas permasalahan yang menimpa perempuan.

Rentetan masalah yang muncul saat kaum perempuan terjun ke ranah politik saat ini, pada akhirnya membuat masyarakat mulai mempertanyakan arah perjuangan politik perempuan.

sumber; Group Whatsapp Share Kajian Muslimah

Mari BERGABUNG di Telegram CHANNEL MUSLIMAH https://t.me/komunitasmuslimah

Khilafah dan imam mahdi

https://youtu.be/Hasok9Scdqo

Sejarah emas khilafah

Yg terlupakan dalam sejarah emas Umat Islam...

*Walisongo Adalah Utusan Khalifah Utsmaniyah*

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Kondisi ini tidak lepas dari peranan para ulama yang disebut sebagai Walisongo (sembilan wali). Sedikit orang yang mengetahui siapa sebenarnya Walisongo dan berasal dari mana kah mereka.

Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam.

Pada tahun 1404 M (808 H) Sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah dengan maksud untuk meminta sejumlah ulama agar diberangkatkan ke pulau Jawa. Para ulama yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kemampuan dalam segala bidang agar nantinya akan memudahkan proses penyebaran Islam.

Dengan keterangan di dalam kitab tersebut kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Walisongo adalah para ulama yang sengaja diutus Sultan pada masa kekhalifahan Utsmani. Saat itu terdapat 6 angkatan keberangkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Jadi jumlah sebenarnya bukan sembilan ulama tetapi jauh lebih banyak.

Angkatan satu dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim asal Turki yang berangkat pada tahun 1400an. Beliau adalah ulama yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan sistem pengairan. Dengan berbekal keahlian tersebut maka beliau menjadi peletak dasar berdirinya kesultanan di pulau Jawa dan juga berhasil memajukan pertanian di pulau ini.

Angkatan pertama ini juga terdiri dari dua orang ulama yang berasal dari Palestina yaitu Maulana Hasanuddin dan Sultan Aliudin. Dua orang ulama ini berdakwah di Banten dan mendirikan kesultanan Banten. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banten yang merupakan keturunan dari Sultan Hasanuddin memiliki hubungan secara biologis dengan rakyat Palestina.

Selain itu ada Syekh Ja'far Shadiq yang diberi julukan sebagai Sunan Kudus dan Syarif Hidayatullah yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Kedua ulama ini juga berasal dari Palestina. Dalam proses dakwah beliau, Sunan Kudus membangun sebuah kota di Jawa Tengah yang kemudian disebut kota Kudus. Nama kota tersebut berasal dari kata Al Quds (Jerusalem).

Masyarakat Nusantara pertama kali mengenal Islam pada abad 7 Masehi atau abad 1 Hijriah. Pengaruh Islam sangat besar pada situasi politik saat itu. Dengan semakin berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ketika itu, maka bermunculan lah berbagai kerajaan dan kesultanan Islam seperti Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang, Ternate, Tidore, Bacan (Maluku), Pontianak, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Kutai, Sambas, Banjar, Pasir, dan Sintang.

Sedangkan kesultanan yang berdiri di Jawa di antaranya adalah Demak, Pajang, Cirebon, dan Banten. Di Sulawesi, syariat Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Daerah Nusa Tenggara hukum Islam diterapkan dalam kesultanan Bima.

*Perjalanan Dakwah Wali Songo*

Sebelum tiba di tanah Jawa, pada umumnya para ulama ini singgah terlebih dahulu di Pasai. Penguasa Samudera Pasai yang hidup pada tahun 1349-1406 Masehi, Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah adalah orang yang mengantarkan Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.

Sejak tahun 1463 Masehi semakin banyak ulama Jawa yang menggantikan ulama yang telah wafat atau berhijrah ke tempat lain. Para ulama pengganti tersebut di antaranya:

- Raden Paku (Sunan Giri)

Beliau adalah putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu yang merupakan putri dari Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan.

- Raden Said (Sunan Kalijaga)

Beliau adalah putra Bupati Tuban, Adipati Wilatikta atau disebut juga Raden Sahur. Berdasarkan sejarah masyarakat Cirebon, julukan Kalijaga berasal dari nama salah satu desa di Cirebon bernama Kalijaga. Saat Raden Said bermukim di desa tersebut, beliau sering berdiam diri dengan berendam di kali (jaga kali).

- Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)

Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Nama Bonang berasal dari nama sebuah desa di Rembang.

- Raden Qasim Dua (Sunan Drajad)

Seperti halnya Sunan Bonang, beliau juga adalah putra Sunan Ampel. Dengan demikian Sunan Drajad adalah saudara dari Sunan Bonang.

Para ulama diberi gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian dan berarti Tuanku, maka dapat disimpulkan bahwa saat itu dakwah Islam telah berjalan dengan baik dan mendapat kehormatan dari kalangan pembesar Kerajaan Majapahit.

*Para Ulama Penyebar Agama Islam Di Nusantara*

Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:

1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.

Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.

Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :

1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :

1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

*Hubungan Kesultanan Nusantara Dengan Kerajaan Islam di Turki dan Arab*

Hubungan antara kerajaan Islam Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah juga dapat diketahui dari keterangan seorang sejarahwan, Bernard Lewis, yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1563 Masehi pembesar kerajaan Aceh mengutus seseorang ke Istanbul guna meminta bantuan melawan Portugis. Dia berusaha meyakinkan Khilafah bahwa raja-raja di kawasan tersebut telah bersedia memeluk Islam jika Khalifah Utsmaniyah mau menolong mereka.

Namun sayangnya pada saat itu Kekhalifahan Utsmaniyah sedang mengalami berbagai permasalahan genting yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria dan mangkatnya Sultan Sulaiman Agung. Setelah terhambat selama dua bulan akhirnya mereka membentuk sebuah armada perang yang terdiri dari 19 unit kapal perang dan beberapa kapal pengangkut persenjataan dan persediaan untuk dikirim ke Aceh.

Hal yang disayangkan adalah sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Kapal yang tiba di Aceh hanya dua unit saja dan langsung digunakan untuk mengusir Portugis. Catatan Sejarah mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai arsip dokumen negara Turki dan buku-buku yang ditulis oleh sejarahwan dunia.

Selain itu dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri juga disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer dari Khalifah Utsmaniyah berupa senjata disertai pengajar yang khusus dikirim untuk mengajarkan cara pemakaiannya.

Kaitan antara kesultanan Banten dengan kerajaan di Timur Tengah juga dapat terlihat dari gelar-gelar kehormatan yang diberikan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara. Gelar tersebut di antaranya:

- Kesultanan Banten

Abdul Qadir dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.

- Kesultanan Mataram

Pangeran Rangsang memperoleh gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami dari Syarif Mekah pada tahun 1641 Masehi.

Pada tahun 1652 hubungan antara kesultanan Aceh dan Turki juga semakin erat dengan adanya pengiriman utusan Aceh ke Turki dalam upaya meminta bantuan meriam. Khalifah Utsmaniyah mengirim 500 orang pasukan Turki untuk mengawal pengiriman meriam dan amunisi.

Selanjutnya pada tahun 1567, Sultan Salim II mengirim armada ke Sumatera. Melihat kedekatan antara kaum muslimin di Nusantara dengan Kekhalifahan Utsmaniyah, seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, mengatakan, "Di kota Mekah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslim di Nusantara."

Menjelang abad modern pun hubungan tersebut masih terjalin baik, terbukti pada akhir abad 20 konsulat Turki di Jakarta pernah membagikan Al Quran atas nama Sultan Turki. Istanbul juga pernah mencetak tafsir Al Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili. Pada halaman depan tafsir al Quran tersebut tertulis "Dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam." Pada saat itu yang disebut Sultan Turki adalah Khalifah yang merupakan pemimpin Khilafah Utsmaniyah berpusat di Turki.

Snouck Hurgronje juga pernah mengatakan bahwa pada umumnya rakyat di Indonesia terutama mereka yang tinggal di pelosok daerah di seluruh tanah air, memandang Stambol (sebutan untuk Khalifah Utsmaniyah) masih sebagai raja bagi seluruh orang mukmin yang saat itu kekuasaannya agak berkurang karena adanya penguasaan orang kafir di Indonesia.

Melihat fakta-fakta sejarah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa memang Nusantara pada jaman dahulu adalah bagian dari khilafah baik saat kekuasaan Khilafah Abbasiyah Mesir maupun Khilafah Utsmaniyah Turki.

Berdasarkan bentuk kekhalifahan saat itu, Syarif Mekah adalah seorang gubernur pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk daerah Hijaz. Karena itu penganugerahan gelar sultan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam dan bukan gelar semata.

*Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia*

Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang ditargetkan akan diberi dakwah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan disampaikan kepada Khalifah.

Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus dakwah Islam dan menjadi bagian dari Khilafah?

Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.

Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. 4 tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni tersebut merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China.

Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.

Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Umumnya mereka mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat terkenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.

Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.

Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.

Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa saat itu.

Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri berhasil mendidik ribuan santri yang akhirnya dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.

*Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah*

Pada masa penjajahan, Belanda berusaha menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekuler melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama.

Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial Belanda.

Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.

Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.

Demikianlah, syariat Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekuler. Hukum-hukum sekuler ini terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.

Khilafah

https://youtu.be/Re_hTB214mI

Indahnya hikmah Perbedaan

YANG MASIH TERUS BERTENGKAR KARENA PERBEDAAN MADZHAB, PERBEDAAN HARAKAH, PERBEDAAN ORMAS, PERBEDAAN GURU DAN PERBEDAAN USTADZ FAVORIT...

SIMAKLAH DENGAN SEKSAMA KISAH DIBAWAH INI!

KISAH INDAH PENUH HIKMAH WEJANGAN IMAM SYAFI'I KEPADA MURIDNYA

Diriwayatkan bahwa Yunus bin Abdi Al-'Ala, berselisih pendapat dengan sang guru, yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i (Imam Asy Syafi'i) saat beliau mengajar di Masjid.

Hal ini membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis itu dalam keadaan marah..

Kala malam menjelang, Yunus mendengar pintu rumahnya diketuk ... Ia berkata : "Siapa di pintu..?"
Orang yang mengetuk menjawab : "Muhammad bin Idris."

Seketika Yunus berusaha untuk mengingat semua orang yang ia kenal dengan nama itu, hingga ia yakin tidak ada siapapun yang bernama Muhammad bin Idris yang ia kenal, kecuali Imam Asy Syafi'i..

Saat ia membuka pintu, ia sangat terkejut dengan kedatangan sang guru besar, yaitu Imam Syafi'i..

Imam Syafi'i berkata : "Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah..?

Janganlah engkau berusaha untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat...

Terkadang, meraih hati orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya..

Jangan pula engkau hancurkan jembatan yang telah kau bangun dan kau lewati di atasnya berulang kali, karena boleh jadi, kelak satu hari nanti engkau akan membutuhkannya kembali.."

"Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci perilaku orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membeci orang yang melakukan kesalahan itu..

Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan, tapi berlapang dadalah dan bimbinglah para pelaku kemaksiatan..

Engkau boleh mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati terhadap orang yang berbeda pendapat..

Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit, dan bukan membunuh orang yang sakit.."

Maka apabila ada orang yang datang meminta maaf kepadamu, maka segera maafkan...

Apabila ada orang yang tertimpa kesedihan, maka dengarkanlah keluhannya...

Apabila datang orang yang membutuhkan, maka penuhilah kebutuhannya sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadamu..

Apabila datang orang yang menasehatimu, maka berterimakasihlah atas nasehat yang ia sampaikan kepadamu..

Bahkan seandainya satu hari nanti engkau hanya menuai duri, tetaplah engkau untuk senantiasa menanam bunga..

Karena sesungguhnya balasan yang dijanjikan oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Dermawan jauh lebih baik dari balasan apapun yang mampu diberikan oleh manusia.."

Beliaupun menangis dan merangkul Sang Imam sembari mohon maaf dan berterima kasih atas nasihatnya.
----------------------

Mari kita bersatu dalam Aqidah..

Bertoleransi dalam Khilafiyah..

Berjuang bersama dalam Da'wah..

SEMOGA KITA SEMUA BISA MENELADANI KEBESARAN HATI ULAMA ULAMA TERDAHULU. AAMIIN...

Tips refleksi

https://youtu.be/TZ3RW4rbwMk

Adzab bagi yg meremehkan shalat

https://youtu.be/xOsDQk-ftJE

Jaminan kesehatan era khilafah abbasiah

Jaminan Kesehatan di Masa Khilafah ‘Abbasiyah
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat, merupakan salah seorang pakar sains yang hidup antara tahun 251-313 H/865-925 M. Dia hidup pada zaman Khilafah Abbasiyah, bertepatan pada era delapan Khalifah. Mulai dari Khalifah al-Muntashir (861-862 M) hingga Khalifah al-Muqtadir (902-932 M).

Sebagai ilmuan sekaligus dokter, ar-Razi memberikan panduan kepada murid-muridnya, bahwa tujuan utama para dokter adalah menyembuhkan orang sakit lebih besar ketimbang niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya. Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara. Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya (‘Abdul Mun’im Shafi, Ta’lim at-Thibb ‘Inda al-Arab, hal. 279).

Perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.

Wazir Ali bin Isa al-Jarrah, yang menjadi wazir di masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M) dan al-Qahir (932-934 M), dan dikenal sebagai wazir yang adil dan ahli hadits yang jujur, juga penulis yang produktif, pernah mengirim surat kepada kepala dokter di Baghdad, “Aku berpikir tentang orang-orang yang berada dalam tahanan. Jumlah mereka banyak, dan tempatnya pun tidak layak. Mereka bisa diserang penyakit. Maka, kamu harus menyediakan dokter-dokter yang akan memeriksa mereka setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit.” (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’, hal. 148)

Wazir Ali sendiri dikenal kaya raya. Pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Tetapi, dari 700.000 Dinar itu, ia infakkan untuk kemaslahatan umat sebesar 680.000 dinar. Termasuk untuk wakaf dan lain-lain.

Para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu, bukan hanya mengandalkan anggara negara. Karena mereka juga ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Di masa itu, dikenal istilah Waqf Khida’ al-Maridh (wakaf mengubah persepsi pasien). Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir.

Dari wakaf ini juga gaji karyawan rumah sakit ini dibayar. Bahkan, ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.

Di antara motivasi para penguasa kaum Muslim kepada pasien yang terkenal adalah ungkapan Wazir Ali al-Jarrah, “Mushibatun qad wajaba ajruha khairun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah ditetapkan lebih baik ketimbang nikmat yang syukurnya tidak ditunaikan).

——————————
/ Silakan share dengan mencantumkan sumber Shaliha Surabaya - Terdepan Mencerdaskan Umat /
——————————
Follow kami di,
Facebook: facebook.com/ShalihaSurabaya
Twitter: twitter.com/ShalihaSurabaya
IG: instagram.com/shalihasurabaya
Telegram: https://t.me/ShalihaSurabaya

Pangkal

PANGKAL

Taasub pangkal sombong, dan sombong pangkal bodoh. Adapun bodoh, sebenarnya bukan karena tak punya pengetahuan, tapi karena menolak kebenaran. Jadi, menolak kebenaran dalam keadaan mengetahui bahwa itu sebuah kebenaran adalah kebodohan.

Pernah ada suatu sikon dimana penyeru kebenaran itu sangat sempurna dari segala sisi: nasab, akhlak, amanah, menjaga kehormatan, dan sebagainya tanpa cela. Akan tetapi masih ada orang yang menolak.

Suatu ketika, seorang Lelaki yang dikenal tak pernah menipu ini pergi masuk gua untuk merenung... Beberapa hari setelah keluar dari gua, dia memanggil dan mengumpulkan orang², lalu bertanya:

“Apakah kalian mengenalku?”

“Ya”, jawab mereka serempak.

Lelaki itu bertanya lagi, “Pernahkah aku berbohong, mengkhianati amanah?”.

Mereka menjawab, “Tidak, kaulah yang paling tepercaya diantara kami, dan sebaik² lelaki diantara kami”.

Kemudian, Lelaki itu berkata:

“Ucapkanlah LĀ ILĀHA ILLALLĀH”.

Sejurus kemudian ‘Amr bin Hisyam berkata dengan lantang, “Kau Pendusta‼”. ‘Amr bin Hisyam adalah bangsawan terkemuka pada waktu itu, ia dijuluki Abu Al-Hakam, yang berarti Orang yang memiliki hikmah kebijaksanaan.

Bisa dibayangkan, seorang yang tak pernah menipu seumur hidup dari kecil sampai dewasa, tiba² ketika dia menyeru mengucapkan “Lā ilāha illallāh”, dia dibantah oleh orang yang dipanggil Abul-Hakam, yang sepatutnya menjadi orang yang kali pertama membenarkan kalimat tauhid ini karena dialah yang paling bijak di kalangan kaumnya. Tapi ternyata dialah yang justru paling kuat menentang.

Apakah seruan ini batil? Apakah seruan ini salah? Apakah seruan ini dibawakan oleh Lelaki yang memiliki cacat dan cela? Tidak, sebab tiada alasan untuk menolak❗Lantas kenapa menolak kebenaran yang tiada salahnya?
Karena taasub pangkal sombong, dan sombong pangkal kebodohan.

Oleh karena itu, Abul-Hakam yg dikenal sebagai orang yang memiliki hikmah kebijaksanaan, mendapat gelar Abu Jahal karena menolak kebenaran dengan kebodohan; karena menolak kebenaran yg dibawakan oleh Lelaki Al-Amin, yang tak pernah berbohong, dengan perangai bodoh walaupun kebenaran jelas di depannya.

[interval]

Ada jamaah dakwah yang mengemban misi Lelaki Al-Amin tsb, yakni menyeru kepada persatuan Islam dalam bingkai khilafah, meletakkan hukum Allah diatas segala hukum. Jamaah tersebut tak mewakili dan/ diwakili siapapun, hanya ingin melanjutkan kembali kehidupan Islam demi meninggikan kalimat Allah setinggi²nya, sehingga umat manusia terbebas dari penghambaan sesamanya.

Kalaupun ada kekurangan dalam jamaah tersebut, mari disempurnakan. Bukan ditentang dan ditolak, bahkan disebut neo-Khawarij, dituduh memecah belah umat dan bangsa, dan segenap tudingan lainnya. Ketahuilah, tuduhan dan tudingan tsb tak mampu menutupi cahaya kebenaran yang diserukannya.

Jikalau bergabung tidak bisa, mari berjuang bersama. Jikalau berjuang bersama tak kuasa, mari mendukung perjuangan tersebut. Jikalau mendukung pun tak mampu, mari diam dan jangan menggembosi perjuangan yang ending-nya telah dijanjikan Allah.

Jikalau Abul-Hakam berganti gelar menjadi Abu Jahal karena mengetahui kebenaran tapi menolaknya, lalu bagaimana dengan mereka yang bergelar Aswaja dan Sunnah tapi menentang perjuangan menegakkan Khilafah dan menerapkan Syariah ini❓

Salam Pembebasan,
Aburrayah Ahmad Alfan Al-Maduri

Suriah. Persembahan dari indonesia

https://youtu.be/e7bzDzPkjw4

Renungan malam

https://youtu.be/pwj808pR8x4

Jangan terlena dengan kehidupan dunia ini

https://youtu.be/ElnFRWUClq0

Berdirinya Khilafah tak lama lagi

https://youtu.be/ZBLp9vno1-0

Tebakan dan pantun adalah budaya lokal yg harus dilestarikan

https://youtu.be/JEOnHt_fwMU

Minggu, 22 April 2018