Rabu, 25 April 2018

Emansipasi, feminisme, dan kapitalis

_komunitasmuslimahkece__ 🌻

Salah Kaprah Perjuangan Politis Feminis
Oleh: Juanmartin, S.Si.,M.Kes

Salah satu prestasi yang berhasil diciptakan kapitalisme global di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah marjinalisasi perempuan yang terjadi nyaris di segala lini kehidupan.

Ironisnya, feminis kerap menyalahkan Islam ketika hendak membahas penderitaan yang dialami kaum perempuan. Logika sesat menyesatkan dan berpijak pada fakta yang tidak shohih, menjadikan kaum feminis secara serampangan mengarahkan jari telunjuknya pada Islam.

Dalam membahas perempuan dan masalahnya, kaum feminisme kerap berpijak pada teori bahwa "hanya perempuan yang paham masalah perempuan”.

Hal tersebut seolah menjadi justifikasi untuk berupaya menyelesaikan masalah dan mewujudkan hak-hak perempuan melalui mekanisme sistem politik dalam bingkai demokrasi.

Pembahasan mengenai partisipasi perempuan di ranah publik pada akhirnya mengerucut pada keterlibatan kaum perempuan di parlemen, lembaga tinggi negara, maupun partai politik.

Walhasil, keterwakilan perempuan di parlemen senantiasa ditempatkan sebagai isu krusial, sebab kuota 30 persen bagi perempuan di parlemen pada faktanya mengalami penurunan.

Apakah benar Islam adalah biang kerok diskriminasi yang menimpa perempuan? Apakah sistem politik yang ada saat ini layak untuk dijadikan sebagai medan perjuangan kaum perempuan di sektor publik?

*Sekularisme, kultur sesat politik perempuan*

Kesalahan logika kaum feminisme sebenarnya telah nyata dari sisi asasnya. Ketika manusia diberi wewenang untuk mengatur kehidupannya sendiri, maka solusi yang dihasilkan lahir berdasarkan kecenderungan perasaan belaka.

Akibatnya, kaum feminis kerap mempersoalkan masalah dengan menonjolkan sensitivitas feminisme. Sebagai contoh masalah waris, masa iddah, hijab, poligami dan beberapa syari’at Islam yang dianggap memarjinalkan kaum perempuan.

Feminisme kerap mempermasalahkan kebijakan yang bias gender, meski pada dasarnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sama sekali bukan dalam kerangka hendak memperdebatkan apakah kebijakan tersebut bias gender ataukah tidak.

Tidak juga dalam kerangka ego masing-masing jenis kelamin saat membuat aturan. Sebab jelas bukan itu letak permasalahannya. Pada dasarnya pengusung ide feminisme berbicara dalam kerangka pikir sekularisme liberal yang memisahkan agama dari kehidupan serta menjamin kebebasan manusia tanpa batas. 

Ketertindasan yang dialami kaum perempuan saat ini telah membangkitkan perjuangan untuk menyelematkan kaum ini dari ketertindasan. Hanya saja, dasar pemikiran yang salah telah merabunkan pejuang feminisme dalam mengidentifikasi akar masalah ketertindasan perempuan.

Feminisme fokus pada isu gender dan derivatnya, padahal sejatinya perbedaan jenis kelamin bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Alhasil, perjuangan politik perempuan pun disibukkan pada perkara “akibat” dan tak pernah sama sekali menyentuh pada sebab.

Dengan demikian, perjuangan perempuan di bawah payung sekularisme tak akan pernah menghasilkan solusi apapun.

Selama sekularisme menjadi paradigma dasar yang melandasi kerangka konsep pergerakan feminisme, maka perempuan tetap saja akan mengalami diskriminasi dan ketertindasan, termarjinalkan di segala lini. Sebagaimana terjadi pada masyarakat saat ini.

Peran domestik perempuan yang melulu membahas dapur-sumur-kasur, telah menggulirkan wacana emansipasi perempuan yang berpendapat bahwa tempat berkiprah perempuan tak hanya berkutat pada persoalan rumahtangga dan keluarga.

Lebih dari itu adalah, bagaimana perempuan mampu berperan di sektor publik tanpa diskriminasi. Hingga saat ini, Partisipasi perempuan di ranah publik terus menjadi isu krusial.

Marjinalisasi yang di alami kaum perempuan di berbagai sektor telah memantik bangkitnya perjuangan kaum feminisme dalam memperoleh hak-haknya. Sensitifitas feminisme, isu kesetaraan dan penetapan kebijakan yang tidak bias gender adalah segelintir isu yang terus digulirkan, melengkapi perjuangan kaum feminisme.

Tokoh dunia, para petinggi negara hingga tokoh perempuan kerap mengangkat isu pemberdayaan perempuan nyaris di setiap pertemuan.

Di tengah masifnya kampanye pemberdayaan perempuan di sektor publik, masyarakat justru mendapati fakta menyedihkan akibat bablasnya kaum perempuan berkiprah di ranah publik.

Anggapan sebagai masyarakat kelas dua telah mendorong naluri superior perempuan untuk berdikari, dan merdeka dari penindasan kaum lelaki. Di tambah lagi kemandirian ekonomi yang telah dimiliki kerap memicu gejolak dalam rumahtangga.

Akibat dari semua itu adalah guncangnya Institusi keluarga, pendidikan anak yang kian terbengkalai, pengasuhan anak terabaikan, tingginya angka perceraian dan beragam masalah rumah-tangga lainnya.

Logika feminisme yang menganggap bahwa masuknya perempuan ke ranah politik praktis adalah solusi, ternyata justru menuai masalah.

Faktanya, meski beberapa tokoh perempuan telah menduduki posisi strategis di tampuk pemerintahan, permasalahan perempuan sama sekali tak menunjukkan penurunan.

Angka KDRT tetap tinggi, pelecehan seksual mengalami peningkatan, kekerasan seksual pun meningkat, anehnya Islam di anggap sebagai biang kerok atas permasalahan yang menimpa perempuan.

Rentetan masalah yang muncul saat kaum perempuan terjun ke ranah politik saat ini, pada akhirnya membuat masyarakat mulai mempertanyakan arah perjuangan politik perempuan.

sumber; Group Whatsapp Share Kajian Muslimah

Mari BERGABUNG di Telegram CHANNEL MUSLIMAH https://t.me/komunitasmuslimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar